Friday, June 15, 2007

Wajah Tradisional Birokrasi Indonesia

Di era modernisasi sekarang ini, birokrasi tampaknya mulai berusaha berbenah diri untuk menciptakan birokrasi yang legal rasional. Sebagai pelayan masyarakat, birokrasi dituntut untuk lebih responsif terhadap kebutuhan publik, dengan memiliki profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Namun usaha ini akan mendapat hambatan yang cukup berarti ketika dihadapkan dengan nilai-nilai kultur kemasyarakatan.
Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi sebagai sebuah organisasi tentu ikut terpengaruh lingkungan budaya, terlihat pada pola-pola interaksi internal dengan sistem nilai dan budaya lokal. Singkatnya, budaya birokrasi di daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya.
Di negara-negara yang telah bebas dari penjajahan kolonial pada umumnya terdapat tipe birokrasi modern di samping birokrasi dengan pengaruh budaya tradisional asli yang kuat. Dengan demikian, agaknya sudah menjadi gejala umum, bahwa struktur tradisional masih terus mewarnai sosok birokrasi yang modern.
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia tidak terlepas dari realitas di atas. Meski telah mengenal dan menerapkan konsep birokrasi modern melalui beambtenstaat, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “birokrasi kerajaan” yang feodal-aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern, yang terjadi hanyalah menyangkut bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana terlihat birokrasi yang diterapkan di Indonesia telah mendekati pengertian Weber tentang “dominasi patrimonial”, di mana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi dan hubungan “bapak-anak buah” atau patron-client relationship.
Dalam birokrasi patrimonial, kedudukan penguasa dikultuskan oleh kebiasaan/tradisi. Penguasa menjalankan kekuasaan yang tidak terkendali dengan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu rakyat akan selalu taat dan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan penguasa. Rakyat akan selalu membenarkan tindakannya, dengan alasan bahwa mengganggu dunia tradisi ini berarti akan membahayakan keselamatan mereka. Para hamba penguasa yang berpartisipasi dalam proses pemerintahan cenderung untuk tidak menentang kemapanan (status quo). Mereka akan mendapatkan keuntungan tersendiri, selama mereka loyal dan memberi hak-hak istimewa terhadap penguasa.
Selo Soemardjan (1986) menyebutkan bahwa abdi dalem sangat erat hubungannya dengan birokrasi dan administrasi negara, khususnya Keraton Yogyakarta. Abdi dalem adalah sekelompok warga masyarakat yang diberi prestise tinggi oleh pihak keraton sebagai pihak yang menduduki posisi antara lapisan golongan bangsawan dengan orang kebanyakan.
Abdi dalem menurut Kamus Bausastra Jawa, “abdi” diterjemahkan sebagai hamba atau sahaya dan “dalem” berarti patik atau abdi raja. Kemudian mendapat sisipan “Ng” menjadi mengabdi, menghamba, menghambakan diri kepada raja. Oleh karena itu menjadi abdi dalem berarti menjadi hamba raja di dalam istana, yang selalu mundhi dhawuh dalem (mengemban titah raja).
Golongan abdi dalem ini sendiri masih terbagi dua, yaitu abdi dalem jero dan abdi dalem jaba. Abda dalem jero adalah abdi dalem yang bertugas di dalam keraton, sedangkan abdi dalem jaba adalah abdi dalem yang bertugas dalam bidang administrasi di luar keraton. Kedua golongan abdi dalem ini memiliki kesetiaan yang kuat kepada raja, dan memiliki rasa hormat yang tinggi pula terhadap setiap keluarga bangsawan. Keluarga bangsawan sebagai orang-orang terdekat dengan raja, dianggap sebagai orang sakti dan berkarisma bagi rakyatnya. Sama dengan pandangan para bangsawan bahwa mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk mengabdi kepada raja, oleh karena dapat membawa prestise dalam masyarakat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat dan keluarga-keluarga di sekitarnya. Makin dekat seorang abdi dalem dengan raja, baik dalam arti luas dan keagamaan, makin tinggi prestisenya di mata masyarakat. Meminjam istilah mereka apabila hubungan abdi dalem dekat dengan rajanya menjadikan mereka “kagem” atau digunakan oleh raja. Hal ini akan semakin menambah kebanggaan mereka.
Para abdi dalem ini kemudian berkembang menjadi sebuah kelas sosial sendiri yang berada terpisah dari lapis masyarakat pada umumnya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk menurunkan kedudukannya pada anggota keluarga jika raja berkenan. Anggota-anggota keluarga lainnya juga mempunyai kesempatan menduduki jabatan-jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja sebuah lembaga dengan fungsi-fungsinya, tetapi juga sebuah lapisan sosial. Sebagai penyelenggara kekuasaan, mereka termasuk dalam elite penguasa yang mempunyai orientasi ke atas kepada kepentingan raja, lebih daripada ke bawah kepada kepentingan orang-orang kecil.
Deskripsi umum tentang bagaimana keberadaan sebuah birokrasi patrimonial itu secara rinci dapat dilihat pada birokrasi kerajaan di Jawa, sejak zaman Majapahit sampai pada kerajaan-kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem itu tentu saja sangat membekas dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat, sehingga dapat saja budaya itu masih melekat.
Secara kasat mata, masih ada pengaruh dari nilai-nilai birokrasi zaman kerajaan terhadap birokrasi modern sekarang ini. Terlihat dari masih adanya pola-pola hubungan yang bercorak patron klien dalam hubungan atasan dan bawahan dalam birokrasi kita, terutama pada birokrasi era Orde Baru. Hal ini membuktikan bahwa struktur tradisional masih terus inherent mewarnai sosok birokrasi yang modern.
Indonesia yang memang sejak dahulu sangat memegang teguh nilai-nilai budaya kemasyarakatan tentunya masih jauh dari harapan untuk menuju tatanan birokrasi yang rasional secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke.

There's Something about JK

Beberapa hari yang lalu, wapres Jusuf Kalla (JK) mengutarakan idenya yang "brilian". Dengan gaya khas pengusaha, beliau mengatakan tentang dibukanya kemungkinan PNS (pegawai negeri sipil) untuk dapat berperan aktif di parpol (partai politik).
Tanggapan mengenai ini langsung muncul. Ada yang mengatakan, ini hanya strategi Golkar untuk memperkuat dirinya, seperti di era Orde Baru yg lalu. Dengan banyaknya kepala daerah yang berasal dari partai beringin ini, dikhawatirkan muncul mobilisasi politik dari penguasa/atasan kepada bawahan. Kemungkinan ini masih kuat, mengingat masih kentalnya patronase di Indonesia.
Seirama dengan pendapat tersebut, pikiran saya sontak langsung mengarah pada konsep "otoriter-birokratik"nya G O'Donnel. Birokrasi akan didayagunakan sebagai penunjang legitimasi suatu rezim yang dalam perkembangannya sarat dengan nilai totalitarian. Birokrasi yang seharusnya berada di domain netral, akan kembali dilibatkan dalam tarik-menarik kepentingan, sebagai ciri khas dunia politik. Dampak minimal yang akan timbul adalah menurunnya kualitas pelayanan publik, yang notabene merupakan tugas utama birokrasi, karena sibuk bermanuver demi parpolnya. Publik yang menjadi korbannya.
Suatu ide memang harus dihargai di negara demokrasi ini. Namun, perlu dipikirkan timing yang tepat untuk memunculkannya. Belum lagi kita usai mereformasi birokrasi yang memang sudah sangat rusak, malah justru ditambahi dengan suatu konsep yang akan meluluhlantakkan bangunan ideal birokrasi.

Jaga Pilkada

Dalam waktu dekat, di Jambi akan dilaksanakan momen pilkada di 7 kabupaten dari total 10 kabupaten. Perhelatan demokrasi di daerah tengah Sumatera ini telah didahului oleh pemilihan Gubernur Jambi pada bulan September yg lalu, dengan hasil yg cukup mencengangkan, yaitu 80 % suara masuk kekantong pasangan Zulkifli Nurdin-Anthony Zedra Abidin. Pilgub lalu telah berjalan tertib, aman, dan lancar. Ini yang harus dipertahankan sebagai standar minimum pelaksanaan pilkada di kabupaten.
Memang, di ranah kabupaten/kota, rasa kedekatan dengan kandidat yang bertarung akan lebih menonjol. Didukung faktor geografis, kekeluargaan/sanak famili,serta konsesi2 politik yg lebih riil, menjadikan konflik horizontal mungkin terjadi. Berangkat dari sini, maka perlu diciptakan (bukan sekedar dipikirkan) suatu mekanisme pengelolaan konflik yang melibatkan seluruh stakeholders di kabupaten2 yang akan menggelar perhelatan demokrasi ini.
Untuk Jambi, tidak ada salahnya mengangkat isu label "Jambi adalah wilayah teraman di Indonesia" sebagai rambu-rambu terjadinya konflik fisik. Layaknya seorang juara bertahan yang pasti tidak ingin status terbaiknya lepas, diharapkan masyarakat Jambi dapat berupaya mempertahankan label tersebut. Jambi membutuhkan prestasi yang gemilang, setelah selama ini tidak begitu dikenal orang. Lebih baik lagi jika naik daun lewat kedewasaan masyarakatnya dalam berdemokrasi.
Perlu juga diingat, konflik tetap dibutuhkan dalam membangun suatu tatanan sosial, tapi konflik yang seperti apa dulu. Perbedaan pemikiran dan ide merupakan konflik yang positif, tinggal bagaimana mengelolanya untuk kemudian dapat melahirkan suatu kemajuan, seperti pemecahan problem sosial lewat musyawarah (sharing idea). Yang jelas tidak bisa kita tolerir ialah penyelesaian masalah lewat penggunaan kekerasan, seperti mobilisasi massa untuk bertindak anarki. Tindakan represif bukan jalan yang efektif dalam berpolitik, malah berpotensi menjadi bumerang bagi politisi, parpol, dan masyarakat umum.

File 4 Dec 05